top of page
  • EH

Asal-usul Magma Bowen's series

Updated: Mar 27, 2020

Post ini akan merangkum proses bagaimana kita memahami salah satu akar masalah petrologi batuan beku.


Di Bumi, terutama di kerak benua, kita banyak sekali menjumpai tubuh pluton dengan komposisi batuan granitik. Batuan granitik jelas sekali memiliki komposisi mineralogi dan geokimia yang berbeda dibandingkan dengan basaltic melt yang dihasilkan dari pelelehan mantel. Kemudian timbul pertanyaan yang jawabannya akan menjadi ujung tombak banyak studi petrologi batuan beku:


Bagaimana cara menghasilkan magma granitik dari magma basaltik yang dihasilkan oleh mantel? Bisakah?

Norman L Bowen, adalah yang pertama mencoba menjawab pertanyaan ini dengan malakukan banyak eksperimen melelehkan batuan di lab. Kata kuncinya: BANYAK. Dari eksperimen tersebut, di tahun 1928, Bowen menarik kesimpulan bahwa ada tata urutan kristalisasi mineral dalam batuan yang memungkinkan untuk menghasilkan magma dengan berbagai macam komposisi dari magma induk yang berkomposisi basaltik. Buku ini kemudian diterbitkan ulang dengan judul yang sama di tahun 1956. Uraian di buku setebal 351 halaman itu disederhanakan menjadi deret Bowen.


Salah satu kesimpulan utama dari deret Bowen adalah bahwa magma basaltik dari pelelehan parsial mantel akan mengalami diferensiasi kristalisasi dan berevolusi menjadi magma (residual) yang kaya akan albite, K-feldspar, dan kuarsa. Tepat 3 fase mineral yang ada di bagian terbawah deret Bowen. Dan di lapangan, 3 mineral ini jugalah yang menjadi penyusun utama batuan granitik. Dengan kata lain, magma basaltik yang mengalami diferensiasi kristalisasi akan semakin kaya kandungan SiO2-nya.


Jika pernyataan di atas benar, maka batuan granitik seharusnya mempunyai titik peleburan yang paling rendah dibandingkan dengan tipe batuan lainnya. Kemudian Tutle dan Bowen (1958) melakukan eksperimen di lab (dengan melelehkan Ab+KF+Qz+water) yang membuktikan bahwa pernyataan tersebut memang betul.


Tapi kemudian Tutle (dalam Young 1998) mengmukakan satu masalah yang sangat penting:

Jika kita membuat magma granitik dari evolusi magma basaltik, maka seharusnya, sebagai efek dari proses diferensiasi kristalisasi, di sekitar pluton granitik kita seharusnya menjumpai puluhan kali lipat volume cummulate mafik (gabbro).

Selain itu, eksperimen peleburan batuan metamorf juga ternyata akan menghasilkan batuan granitik.


Kenyataan di lapangan tampak kurang cocok dengan deret Bowen.


Di tahun 1920-an juga, CN Fenner, anggota lain di lab yang sama dengan Bowen, menyampaikan pendapat bahwa pada saat magma basaltik mengalami diferensiasi kristalisasi kandungan besi-nya akan meningkat. Karena interstitial gelas yang ada di groundmass basalt berwarna coklat dan kaya akan besi. Analisis groundmass dari batuan vulkanik dari Antartika mendukung pendapat Fenner.


Di tahun 1939, LR Wager dan WA Deer menemukan Skaergaard Layered Intrusion (SLI) di Greendland. FYI, SLI dianggap istimewa karena menggambarkan proses fraksional kristalisasi yang berlangsung satu arah, sekali jalan, di sistem yang tertutup. Yang dijumpai adalah lapisan batuan cummulate dengan variasi kristal Ol, Px, Plag, dan Mt. Penemuan ini menjawab dua hal sekaligus:

  1. Deret Bowen merupakan mekanisme utama yang berlangsung dalam proses diferensiasi kristalisasi

  2. Namun, magma basalt berevolusi ke arah pengayaan besi, bukan SiO2, karena setelah 95% magma basalt mengalami kristalisasi, SiO2 baru mulai meningkat dan membentuk granofir (granit porfiri) hanya kurang dari 1% volume seluruh intrusi.


Kesimpulannya: nobody was 100% correct yang juga bisa dibaca: into nobody was 100% wrong. Karena kita tahu bahwa di kerak benua dan di busur kepulauan yang sudah dewasa menjelang tua, kedua end-member batuan tersebut (basaltik dan granitik) hadir melimpah dan seringkali berasosiasi satu sama lain. Jadi SiO2 enrichment yang disimpulkan oleh Bowen juga memang terjadi. Di saat yang bersamaan, iron enrichment yang disimpulkan oleh Fenner juga dijumpai di SLI, Iceland, dan Hawaii.


Jadi di mana kita menarik garisnya?


Di tahun 1975, Miyashiro menunjukkan bahwa kedua series tersebut (Bowen's vs Fenner's) akan menunjukkan pola yang berbeda pada diagram FeO*/MgO. Fenner's series yang sekarang lebih sering disebut sebagai tholeiitic series menunjukkan pengkayaan besi yang signifikan dalam proses evolusinya. Sementara Bowen's series yang menunjukkan pengkayaan SiO2 (yang diikuti oleh peningkatan kandungan total alkali) sekarang lebih sering disebut sebagai calc-alkaline series.


Sebenarnya bumi masih gonjang ganjing setelah ini. Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara menghasilkan dua magma yang berbeda ini?


Kemudian di tahun 1959, Osborn menyimpulkan bahwa rasio FeO*/MgO akan naik (SiO2 konstan) jika kristalisasi berlangsung dalam sistem tertutup (seperti SLI) sehingga (bulk) komposisi akan konstan. Sebaliknya, SiO2 akan meningkat cepat kalau kristalisasi berlangsung dalam kondisi tekanan oksigen (oxygen fugacity) konstan. Kesimpulan ini dipatahkan oleh eksperimen Fudari (1965) yang menunjukkan bahwa peningkatan SiO2 juga tetap bisa terjadi saat tekanan oksigen menunjukkan perubahan.


Kemudian serangkaian eksperimen lainnya oleh Tilley et al. (1964), Brown dan Schairer (1971), dan Yoder dan Tilley (1962) menunjukkan bahwa diferensiasi magmatik Bowen akan sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan kaitannya dengan pengkayaan plagioklas. Tahun 1969 dan 1975, Kushiro menunjukkan bahwa peningkatan water vapor pressure akan menurunkan titik lebur mineral silikat. Dalam hal ini, imbasnya akan lebih terasa pada mineral yang tersusun oleh 3D network structure seperti plagioklas. Kondisi ini akan menghambat pembentukan plagioklas dan plagioklas akan terkonsentrasi pada fase liquid residual. Sebagai akibatnya, pada Bowen's series hydrous mineral (seperti hornblende) juga dapat terbentuk.


Gongnya bunyi di dtahun 1968, saat Green dan Ringwood mengkombinasikan ide subduksi kerak dengan ekeperimen di lab. Hasil mereka menunjukkan bahwa basalt (dari kerak samudra) saat tersubduksi akan menjadi eklogit yang mengandung Gt dan Cpx. Saat kita melelehkan eklogit, magma yang dihasilkan akan kaya SiO2 dan rendah rasio FeO*/MgO-ny, tipikal Bowen's series.


Sebenarnya polemik belum berakhir saat itu juga. Karena, nobody was 100% correct and the other way around. Tapi cukup di sini dulu untuk post kali ini.

Jadi, balik ke pertanyaan paling atas: Bisakah?


Well, I regret to tell you, there's no 100% answer to this. Masih banyak penelitian yang dilakukan terkait ini. Hingga saat ini. Beberapa studi menyimpulkan bahwa Sierra Nevada batholith terbentuk sebagai hasil remelting kerak bagian bawah yang berkomposisi basaltik (anateksis) i.e. (Borg and Clynne, 2004; Sisson et al, 2005, dll).


Tapi setidaknya, kita jadi mengerti asal-usul dua tipe magma yang banyak dijumpai di gunung api di Bumi. Dan buat yang sempat meluangkan waktu untuk mencari jawabannya dan membaca beberapa literatur akan melihat bahwa: "Science proceeds by testing hypotheses".

 

A longer version of this great history in petrology can be read in: Yanagi T (2011) Arc Volcano of Japan, Generation of Continental Crust from the Mantle, Springer, 123p

582 views0 comments

Recent Posts

See All

Komentarze


bottom of page