Secara sederhana, magmatisme dapat dipahami sebagai proses yang menghasilkan batuan magmatik. Nah, kalau mau diputar lagi, batuan magmatik atau batuan beku itu batuan yang terbentuk langsung dari pendinginan dan solidifikasi magma (ini yang membedakan batuan beku dari batuan sedimen dan batuan metamorf). Kalau masih mau ngotot diputar lagi, magmatisme (noun) itu adalah aktivitas magma yang ujung-ujungnya menghasilkan batuan beku.
Merunut statement sebelumnya yang berputar-putar, bisa dipastikan magmatisme hanya terjadi pada tempat-tempat yang menghasilkan magma. Magma terbentuk hanya pada saat mantel meleleh jika dan hanya jika: (1) tekanan turun, (2) penambahan air dan/atau volatil yang menurunkan temperatur titik leleh batuan, dan (3) naiknya temperatur.
Karena lain ladang lain belalang, maka bisa dipastikan lain tatanan tektoniknya, lain pula proses pembentukan magmanya. Lihat satu-satu yuks.
Seperti atmosfer bumi, interior dalam bumi juga berlapis-lapis. Lalu, bagian mana sih yang sebenernya meleleh itu?
O.K. Mari kita mulai ke hal yang paling dasar. Bagian dalam bumi yang meleleh adalah mantel yang tersusun oleh peridotit. Ada kalanya, namun jarang sekali, yang meleleh adalah kerak/lithosphere bagian bawah. Kalau yang ini yang terjadi, maka proses dan hasilnya akan sedikit berbeda. Nah, karena kita hanya akan membahas pembentukan magma yang terkait langsung dengan vulkanisme, kita lewati cerita bagaimana melelehnya kerak bumi bagian bawah dan kembali ke ketiga skenario yang sudah disebutkan di awal.
Sebelumnya, sudah kenal kan dengan konsep geothermal-gradient? Nah dalam kondisi normal, mantel peridotit tidak akan meleleh.
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada kedalaman diatas 250 km suhu baru mencapai 1500°C. Panas, tapi tidak cukup panas melelehkan mantel peridotit, karena masih di bawah temperatur solidus. Peridotit baru akan meleleh jika melewati garis solidus. Alam memberikan syarat-syarat tertentu agar garis solidus terlewati dan membatasi agar kondisi di sebelah kanan garis liquidus tidak akan tercapai. Karena itulah peristiwa melelehnya mantel ini disebut sebagai pelelehan sebagian (a.k.a pelelehan parsial a.k.a partial melting). Kenapa sebagian sih? Ya karena sebenarnya batuan yang disebut meleleh itu, tidak benar-benar 100 % meleleh.
Lalu, bagaimana cerita ketiga skenario yang tadi disebutkan di awal?
Skenario (1) terjadi jika dan hanya jika ada dua kerak lithosphere yang saling menjauhi (rifting). Jadi ternyata, fungsi suhu terhadap kedalaman lebih cepat berubah di bawah kerak samudra. Suhu lebih cepat naik di bawah kerak samudra, jika dibandingkan dengan di bawah kerak benua. Tapi, tingginya tekanan masih menghalangi terjadinya pelelehan. NAH, adanya rifting memberikan kesempatan naiknya material panas dari asthenosphere, akibat berkurangnya tekanan. Kondisi tekanan dan temperatur yang sebegitunya ini menyebabkan material mantel akan berada di sebelah kanan garis solidus a.k.a partial melting terjadi. Dengan kata lain, pada batas tektonik divergen, yang menginisiasi pelelehan parsial adalah berkurangnya tekanan bukan naiknya temperatur.
Sekarang skenario (2). Kalau yang satu ini, asosiasinya adalah subduksi. Garis solidus yang tadinya ada di skenario (1) sekarang kita beri nama baru: dry solidus, yang artinya kering, tidak ada air. Pada kondisi ini, pelelehan parsial tidak akan terjadi. Kerak yang nyungsep (termasuk di dalamnya adalah altered oceanic crust dan sediment) mengandung hydrous minerals, misalnya mika dan amfibol. Contoh yang paling sederhana, pada kedalaman 100 km setelah tersubduksi, terjadilah yang namanya hornblende breakdown akibat naiknya suhu dan tekanan. Pada titik ini, terjadilah proses dehidrasi, yang serta merta diikuti oleh berpindahnya fluida (dan juga unsur komponen subduksi seperti Rb, K, Sr dan B) dari dehydrated crust ke mantel yang ada diatasnya. NAH penambahan air pada mantel peridotit ternyata mampu menurunkan titik leleh dan menginisiasi pelelehan parsial.
Skenario (3), kemungkinan terakhir terjadinya pelelehan parsial selain dua yang di atas. Yang spesial ini bisa kita temui misalnya di Hawaii, yang di dunia pergunungapian dikenali sebagai manifestasi hotspot. Kenapa sih disebut titik panas? Salah satu faktor utamanya adalah karena sumber panas yang menyebabkan adanya vulkanisme di Hawaii sifatnya lokal. Mantel bagian bawah secara khusus lebih panas suhunya dibandingkan bagian mantel yang lain. Karena lebih panas, maka densitas-nya lebih kecil, dan karena ringan bisa dengan “mudah” naik ke atas dan membentuk mantel plume. Dalam perjalanan ke atas, tekanan akan sangat berkurang, dan pada saat plume tersebut telah mencapai bagian atas mantel, rendahnya tekanan memungkinkan terjadinya pelelehan parsial. Dan tadaaaa… jadilah jajaran gunung api. Yang perlu diwaspadai, adalah kerancuan skenario (3) ini dengan skenario (1). Keduanya berbeda dari beberapa segi: (a) tidak adanya lithosphere yang menipis seperti pada skenario (1), (b) kerak di bawah Hawaii lebih tebal, mengindikasikan suhu lokal mantel yang lebih tinggi, dan (c) adanya anomali suhu pada plume geotherm, menunjukkan suhu yang diperkirakan mencapai 1500°C, yang jelas lebih tinggi dibandingkan skenario (1 &2). Sehingga banyak ahli yang menyimpulkan bahwa, yang paling berperan dalam pelelehan parsial skenario (3) adalah naiknya temperatur.
Jadi, sudah nggak bingung lagi kan? Saya kira, inilah yang paling menjelaskan magmatisme. Lain kali kita akan melihat gimana sih sebenarnya step by step pembentukan batuan beku itu? Apa sih yang sebenarnya terjadi pada magma hasil partial melting?
Oiya, buat yang mau belajar lebih dalam, bisa baca John D. Winter (Principles of Igneous and Metamorphic Petrology) dan/atau Robin Gill (Igneous Rocks and Processes).
Until next time, volcano chasers!
Cheers!!!